Sabtu, 29 Desember 2012

"~Debu Kuku~"

     KESETIAAN  bukan milikku. Kesetiaan hanya milik seekor anjing pada zaman seorang raja Romawi yang lalim bernama Dikyanus (249-251). Kesetiaan seekor anjing yang tertidur di dalam sebuah gua Ar-Rakim, sekitar 8 kilometer dari Amman, Yordania, selama 309 tahun bersama tujuh pemuda: Kasifith Thanunas, Martunus, Moexalimina, Ninuas, Sarinunas, Tamlikha, dan Zunuwanus.
     Aku juga tidak patut. Kepatutan hanya milik seekor gagak yang hidup ketika bumi ini masih dihuni tiga pasang manusia: Adam dan Hawa, Qabil dan Labuda, serta Habil dan Iklimah. Kepatutan gagak yang akhirnya selalu berkoak --- hingga keturunan sekarang,  tentang kemalangan, kesialan, kegetiran, dan kehilangan. Kepatutan gagak yang kali pertama melihat darah manusia, kemarahan, dan kedengkian dari Qabil. Kepatutan seekor gagak yang merinding tentang kehidupan bumi yang bakal dihuni para Qabil. Kepatutan tentang gagak yang pasti hitam.
     Keniscayaan bukan milikku. Keniscayaan hanya milik seekor keledai yang diterkam binatang buas, kemudian tulang tengkorak rahang atasnya dipergunakan untuk menghantam jidat Habil, empat kali hingga tewas. Keniscayaan memilih keledai, yang tulang tengkoraknya terpilih sebagai benda pertama untuk membunuh manusia suci.
     Aku bukan setia, tidak patut, terlebih niscaya. Kesetiaan tentang sesuatu yang total, terkadang mengandung pengabdian yang mutlak. Sementara garis kehidupan sudah digariskan untuk selalu tidak sempurna. Kesetiaan tidak ada yang sempurna. Kesetiaan hanya dapat diberikan tapi tak dapat dimiliki.
     Aku tidak patut. Kepatutan selalu menjadi bagian makhluk lain. Seekor gagak patut memberi contoh kepada manusia yang bodoh tentang bagaimana menghargai manusia, memperlakukan, serta menghormatinya. Seekor gagak patut memberi contoh tentang jasad dan pemakaman yang agung.
     Aku bukan niscaya. Keniscayaan selalu ditentukan oleh pihak lain. Niscaya merupakan sesuatu yang mutlak, seharusnya, tapi tetap bukan bagian yang berdiri sendiri. Tulang tengkorak keledai menjadi sesuatu yang mutlak untuk Qabil kepada Habil, karena keledai itu, dan tulang tengkoraknya, telah ‘terpilih’. Tulang tengkorak menjadi mutlak karena ditunjuk untuk sebuah pelajaran yang suci.
     Aku tidak setia seperti anjing ashabul kahfi, yang mengencingi patung berhala yang disembah raja, lantaran tahu tuannya tidak mau tunduk ketika berjalan di depan patung itu. Aku tidak patut seperti gagak, yang memberi pelajaran bagaimana menguburkan jenazah seorang manusia terpilih Habil yang menitipkan benih suci ke rahim Iklimah kemudian menurunkan manusia-manusia suci. Aku bukan niscaya seperti tulang tengkorak keledai yang menjadi akumulasi sebuah amarah dan menjadikan bumi ternoda.
     Aku bukan apa-apa. Aku adalah sesuatu yang tidak berketetapan, diterbangkan angin ke sana kemari, singgah di tempat yang juga tidak pasti. Dalam hal ini, apakah kesetiaan, kepatutan, dan keniscayaan menjadi penting? Karena aku setitik debu, yang barangkali tengah berada di ujung kuku Anda.

Arief NurHidayat
Indramayu, 30 Desember 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar